Sunday, June 14, 2015

Novellis Wanita Indonesia

10 Penulis Wanita Terbaik Indonesia

By Digishelf 

Penulis wanita memberikan warna tersendiri dalam perjalanan sastra Indonesia. Dalam setiap periodesasi sastra, karya penulis wanita selalu menonjol di antara tulisan-tulisan maskulin sastrawan pria. Dimulai dari Kartini lewat kumpulan suratnya, hingga Ayu Utami dengan sastra wanginya. Berikut ini adalah 10 penulis wanita Indonesia yang berhasil memperkaya khazanah sastra tanah air:

Nh. Dini

Pada periode sastra Indonesia angkatan 1950 – 1960an, nama Nh. Dini “terselip” di antara nama sastrawan pria seperti Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, dan W.S Rendra. Karya pertama Nh. Dini adalah kumpulan cerpen berjudul “Dua Dunia” terbitan tahun 1950. Novel tersebut menjadi perbincangan pada masanya. Saat itu para kritikus sastra menganggap karya Nh. Dini terlalu pop sehingga tidak memiliki nilai sastra yang berbobot. Meskipun demikian, penulis kelahiran Semarang, 26 Februari 1936 itu tetap berkarya lewat cerpen, novelet, atau biografi. Karya-karya yang tak pernah berhenti tersebut menjadikan nama Nh. Dini tetap eksis di angkatan sastra ’70 dan ‘80an. Lewat cerita-ceritanya, Nh. Dini seringkali menyuarakan feminisme dan kesetaraan gender. Atas kerja kerasnya, Nh. Dini kemudian meraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand.

 

Toety Heraty

Toety Heraty dikenal dengan berbagai predikat. Mulai dari pengelola galeri seni, guru besar fisafat, penulis puisi, penulis esai, hingga wanita pengusaha. Di era 70-an, nama Toety Heraty bergaung sebagai penyair wanita yang unik. Ia dianggap “berdiri sendiri” tanpa mengikuti arus. Toety Heraty pernah mengenyam pendidikan tinggi di bidang kedokteran, filsafat, dan psikologi sehingga sajak-sajaknya terasa kaya akan nuansa filsafat dan feminisme. Melalui karyanya, wanita kelahiran Bandung 81 tahun silam tersebut turut memberi pengaruh dalam pembentukan jati diri wanita modern Indonesia.

Marga T

Kemunculan Marga T di era 70an membawa angin segar dalam dunia sastra Indonesia. Kerinduan masyarakat akan bacaan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari terpuaskan dengan novel  manis berjudul “Karmila”. Kesuksesan "Karmila" diikuti dengan novel “Badai Pasti Berlalu” yang kemudian diangkat ke layar lebar dan memenangkan Piala Citra. Dengan gaya bercerita yang ringan dan lincah, Marga T menjadi salah satu penulis terbaik untuk genrehiburan sehat. Sebagai penulis, Marga T sangat disiplin. Ia bisa mengarang selama empat sampai lima jam dalam sehari. Di sela-sela waktunya ia gemar membaca apa saja. “Masyarakat berhak memilih bacaan yang disukainya, tapi penulis tidak. Ia harus membaca tulisan siapa pun”, ujarnya. Selain novel-novel dengan tema percintaan. Marga T juga terjun ke dunia bacaan anak lewat “Rumahku adalah Istanaku”.

 

Mira W

Kebangkitan penulis wanita Indonesia di era 1980-1990an sangat identik dengan nama Mira W. Penulis yang menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Kedokteran Trisakti ini mulai menulis sejak tahun 1975. Cerpen-cerpennya banyak dimuat di majalah-majalah ibukota seperti Femina, Kartini, Dewi, dan lain-lain. Novel pertama Mira W mula-mula dimuat sebagai cerber berjudul "Dokter Nona Friska" di majalah Dewi. Cerita tersebut kemudian dibukukan dengan judul "Kemilau Kemuning Senja" dan pernah difilmkan dengan judul yang sama. Novelnya keduanya yang berjudul “Sepolos Cinta Dini”, juga pernah dimuat sebagai cerber di harian Kompas tahun 1978, kemudian dibukukan oleh Gramedia. Istimewanya, hampir semua novelnya sudah difilmkan dan disinetronkan.

Dorothea Rosa Herliany

Sosok penyair wanita yang akrab dipanggil Rosa ini berhasil mengukuhkan namanya sebagai salah satu penulis wanita terbaik Indonesia. Sejak tamat dari jurusan Sastra Indonesia, FPBS IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, Rosa memilih untuk menulis dan berkesenian. Sajak-sajak Dorothea Rosa Herliany sarat dengan penentangannya terhadap pandangan-pandangan umum masyarakat Indonesia. Melalui sajak-sajaknya yang matang, penyair kelahiran Magelang, 20 Oktober 1963 ini menciptakan sebuah pandangan lain tentang perempuan, pernikahan, dan kematian yang berseberangan dengan stereotip yang ada. Pada 1990 Rosa mengikuti Pertemuan Sastrawan Muda ASEAN  di Filipina. Kemudian di tahun 1995 Rosa mengikuti Festival Penyair Internasional di Belanda. Saat ini tak terhitung jumlah acara sastra internasional yang pernah ia hadiri sebagai pembicara. Pendiri Forum Ritus Kata ini juga kerap diundang untuk menjadi dosen tamu di berbagai belahan dunia.

Ayu Utami

Pada tahun 1998, Ayu Utami menerbitkan novel berjudul "Saman". Buku tersebut memberi gebrakan  dalam dunia sastra Indonesia. Popularitas "Saman" semakin melambung setelah memenangkan juara pertama sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta. Berkat "Saman" pula, Ayu Utami meraih penghargaan Prince Claus Award. Tulisan-tulisan Ayu Utami yang provokatif memicu lahirnya istilah sastra wangiSastra wangi sendiri adalah sastra yang bebas, terbuka, penuh dengan ekspresi pengarang dan mengangkat hal-hal tabu seperti politik dan seksualitas.

Laksmi Pamuntjak

Wanita berdarah Minangkabau ini mendapat bakat menulis dari kakeknya, Kasuma Sutan Pamuntjak, yang merupakan redaktur Balai Pustaka. Laksmi Pamuntjak mengawali karier menulisnya dengan membuat buku sekaligus peta wisata kuliner berjudul "The Jakarta Food Guide". Berbekal wawasan yang luas, Laksmi Pamuntjak juga aktif menulis artikel seputar politik, biografi, film, musik klasik, hingga sastra untuk majalah Tempo. Kumpulan puisi pertama Laksmi Pamuntjak yang berjudul "Ellipsis" terpilih menjadi salah satu Books of the Year harian Inggris Herald UK tahun 2005. Penghargaan ini menjadikan Laksmi Pamuntjak sebagai penulis Indonesia pertama yang karyanya dinobatkan sebagai salah satu buku terpilih di Eropa.

 

Dewi Lestari

Dewi Lestari yang menggunakan nama pena “Dee”  meluncurkan jilid pertama Supernova pada tahun 2001. Dalam sejarah sastra Indonesia, tidak ada buku yang mendapat sorotan sebanyak Supernova. Hampir seluruh radio, televisi, dan surat kabar memperbincangkan buku ini. Pembahasannya pun beragam, mulai dari resensi hingga proses kreatif Dewi Lestari dalam menulis Supernova. Guru besar filasafat Indonesia, Ignatius Bambang Sugiharto menilai Supernova sebagai sebuah petualangan intelektual yang menerabas segala sekat disipliner; semacam perselingkuhan visioner yang mempesona antara fisika, psikologi, religi, mitos, dan fiksi. Selain Supernova yang bergenre fiksi sains, Dewi Lestari juga menyajikan karya-karya lain yang lebih ringan berupa Filosofi Kopi, Madre, dan Perahu Kertas.

Helvy Tiana Rosa

Helvy Tiana Rosa telah menulis ratusan karya berupa buku, cerpen, novel, kritik sastra, dan naskah drama. Helvy juga telah mewakili Indonesia dalam event-event sastra baik di dalam maupun luar negeri. Kini beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa  Inggris, Jerman, Perancis, Arab, Jepang, dan Swedia. Cerpennya yang berjudul “Jaring-Jaring Merah” terpilih dalam 10 cerpen terpenting sepanjang dekade 1990-2000 versi majalah Horison. Helvy Tiana Rosa bersama Asma Nadia dan Maimon Herawati kemudian mendirikan Forum Lingkar Pena, sebuah yayasan yang memberi jembatan kepada penulis-penulis muda untuk berkarya dan menerbitkan buku. Berkat tulisan-tulisannya yang inspiratif dan bernuansa Islami, Helvy dianggap sebagai tokoh yang membangkitkan sastra kontemporer Islami di Indonesia.

Alberthiene Endah

Alberthiene Endah adalah seorang jurnalis, novelis, dan penulis biografi. Alberthiene Endah mengawali kariernya sebagai jurnalis pada tahun 1993. Tahun 2002, ia beralih menjadi penulis biografi. Sederet nama-nama terkenal seperti Krisdayanti, Anne Avantie, Titiek Puspa, Chrisye, Ani Yudhoyono, sampai Joko Widodo telah ia tuliskan biografinya. Setelah buku-buku biografi yang ia tulis laris di pasaran, Alberthiene Endah disebut-sebut sebagai penulis biografi paling dicari di Indonesia.
Munculnya sastrawan perempuan dalam ranah kesusastraan Indonesia sepuluh tahun belakangan, menjadi fenomena yang kerap diperbincangkan. Penulis perempuan, baik pemain baru atau lama, tak henti-hentinya berkarya. Melihat perkembangan ini, tak berlebihan jika Sapardi Djoko Damono dalam tulisannya berkata bahwa masa depan sastra Indonesia berada di tangan penulis wanita.

No comments: